Geolife...!

Gayuh is Geopreneur

Tuesday, November 23, 2010

Pindah Blog

Dengan ini, resmi saya pindah blog ke :

http://gayuh.putranto.net


Ditunggu di sana, OK!

Wednesday, November 14, 2007

Resensi Album : Dream Theater – Systematic Chaos (2007) “Mengkonstruksi Makna Metal Progresif”

Dream Theater, my most favorite band, sudah meluncurkan album studionya yang ke sembilan (jika ditambah album live, maka totalnya adalah 14 album) berjudul Sytematic Chaos 5 Juni 2007 yang lalu. Namun, perkenalan penulis dengan album ini dimulai dari sebulan sebelumnya, 6 Mei, di suatu diskusi maya di http://idtfc.com/forum. DT merilis satu lagu “pemanasan” di website resmi label rekamannya www.roadrunnerrecords.com, yaitu Constant Motion (CM) dalam bentuk file mp3.
Pertama kali menyetel CM, kesan pertama yang ada dalam benak penulis adalah “hitam” atau “gelap”. Memang DT adalah sebuah band metal progresif. Namun, lagu CM ini tampil lebih “gelap” dibanding album Train of Thought (ToT) dan Six Degrees of Inner Turbulance (SDOIT) yang sudah “gelap”. Maksud kata-kata “gelap” atau “hitam” disini yaitu musik yang dibalut distorsi gitar yang sangat “tebal” atau “heavy” layaknya Pantera atau Metallica namun tetap dibalut permainan instrumen yang “gila” khas DT yang “Pantera nor Metallica absolutely would never come close to”. Lalu, pukulan drum Mike Portnoy (MP) terdengar lebih garang dan sangat dominan disini. Namun, ciri progresif sangat kentara di lagu ini dengan adanya hitungan-hitungan waktu yang ganjil (dalam arti sebenarnya, yaitu lawan dari genap), struktur komposisional yang kompleks, dan permainan instrumen yang berbelit-belit. Semuanya ini khas DT atau khas musik progresif. Mendengarkan CM sampai tuntas menimbulkan kepuasan tersendiri, dan saya yakin itu yang dirasakan DT mania di seluruh dunia saat mendengar lagu ini untuk pertama kalinya. Rasanya, kekangenan akan album baru DT selama dua tahun terbayar sudah. Di bagian tengah lagu, penulis sempat kagum pada part instrumental yang dilatari aksi solo drum MP yang wowww! (ada yang bisa meniru?).
Beberapa hari kemudian, penulis bisa mendapatkan keseluruhan albumnya dalam bentuk mp3. Padahal, belum resmi diluncurkan. Kesan hitam yang muncul di awal tadi, mulai sirna saat mendengar dan mencermati album ini secara keseluruhan.
Secara keseluruhan, band ini telah melakukan perubahan besar pada sound. Album sebelumnya, Octavarium (8vm), dianggap sebagai titik akhir untuk reinkarnasi band setelah 20 tahun berkarir. Tidak ada lagi nugget-nugget (simbol dari pesan-pesan tersembunyi) yang menjadi ciri penting album 8vm. Dus, tampak peningkatan skill masing-masing personal yang sebenarnya merupakan fungsi dari jam terbang mereka di kancah musik. Dan, yang penulis kagumi, ada peningkatan kualitas yang luar biasa pada vokal James Labrie (JL) dibanding album-album sebelumnya. Hal ini bisa diamati terutama di lagu-lagu balad seperti Forsaken dan The Ministry of Lost Soul (TMoLS).
Sebenarnya, pola permainan individual DT masih terdengar sama dengan yang terdahulu. Meski menurut penulis, dengan “warna” baru ini, peran kibor dan bass sedikit dikorbankan oleh distorsi gitar JP yang sangat dominan dan gebukan drum MP. Namun, pola itu sebenarnya sudah tampak dari album-album sebelumnya, dan disini lebih terasa nuansanya. Ketika JP dan MP berperan sentral dalam permainan instrumental, Jordan Rudess (JR, kibordis) turut membangun jalinan instrumen dari “belakang” dan terkadang meledak dengan aksi solo yang “gila” atau terkadang ikut mengimbangi permainan speed JP. Lalu, John Myung (JM, basis) mendukung lewat fondasi bass yang mampu “mengisi” bagian instrumental dengan sangat elegan.
Kesan progresif sudah dikeluarkan di awal album yaitu lagu In The Present of Enemy I (ITPOE I). Tiga ciri metal progresif, yang sudah saya sebut di atas, sudah bisa dinikmati dari hitungan nol lagu tsb. Beberapa efek digunakan bergantian untuk mendukung tema epik (ciri progresif ala DT). Butuh waktu 5 menit untuk mulai mendengarkan vokal JL di awal album ini.
Dari judul dan lirik-liriknya, album ini terlihat sangat epik. Dua jempol layak diacungkan buat JP dan MP. Keduanya jenius dalam menulis lirik yang dalam dan penuh arti. Lagu CS dan Repentace masih bercerita tentang kisah perang MP melawan drug & drink, seperti lagu The Glass Prison (SDOIT), This Dying Soul (ToT), dan Root of All Evil (8vm). Namun, bukan kelanjutan dari RoAE karena album ini dinyatakan tidak berhubungan dengan album-album sebelumnya (DT selalu menghubungkan antar album, seperti dengan menggunakan nada terakhir di album sebelumnya sebagai nada pertama di album setelahnya). Lagu Repentace dibuka dengan nada dan lirik This Dying Soul. Apakah DT sudah kehabisan ide? Tidak. Ini bukti kejeniusan mereka dalam mengkoneksi dan merangkai antar lagu. Fragmen-fragmen lagu yang terangkai seperti ini banyak dijumpai di album 8vm, malah menjadi ciri DT.
Lalu, berangkat dari In The Name of God di ToT dan Sacrified Sons di 8vm, DT mulai menggemari menulis lirik tentang perang. Rupanya, berlarutnya permasalahan perang Irak yang berbuntut protes panjang rakyat AS tak luput dari jangkauan DT. Topik peperangan yang berakar dari spirit kepercayaan di Timur Tengah tergambar di lagu ITPOE I dan II (pembuka dan penutup album), Prophets Of War, dan TMoLS. Yang terakhir disebutkan ini adalah lagu favorit penulis. Lagu berdurasi hampir 15 menit yang penuh “jiwa”, yang dilukiskan dengan sentuhan melodi gitar JP yang sangat epik dan dibawakan oleh vocal yang sempurna oleh JL.
Warna ballad yang diusung Forsaken, tembang kedua, sangat berbeda dengan tema ballad di album-album sebelumnya seperti Spirit Carries On atau Anna Lee. Kesan distorsi yang heavy serta permainan kibornya mengingatkannya pada “Call Me When You’re Sobber” milik Evanescence.
Lagu ke empat, The Dark Eternal Night, adalah lagu ter’heavy’ dari keseluruhan lagu di album ini. Walau terkesan heavy metal dan liar, warna progresif tetap muncul terutama di bagian instrumental yang lagi-lagi, what an amazing intricacy! Sebuah warna baru dari musik progresif ala DT. Di sini, suara JL sering dibumbui oleh suara MP yang memang berkarakter lebih berat.
Tak ada gading yang tak retak. Begitu pula album ini. Satu hal yang penulis sayangkan adalah adanya sempilan aliran/warna “Muse” yang sangat kentara di lagu Prophet of War yang mengingatkan DT mania pada lagu Never Enough di 8vm. Lagu ini merusak keseluruhan tatanan warna musik baru DT yang ingin diperkenalkan ke penggemarnya.
Judul album, Systematic Chaos, mungkin (menurut penulis) berangkat dari definisi metal progresif, yaitu (seperti yang telah disebutkan di atas) keruwetan struktur dan komposisi lagu. Keruwetan (intricacy) atau kekacaubalauan biasa disebut dengan istilah “Chaos”. Namun, dibalik keruwetan itu, terdapat pola atau susunan keteraturan yang sistematik. Dari sinilah terbilang istilah Systematic Chaos. Sepertinya, dari album ini, mereka mengkonstruksi definisi musik metal progresif itu ke dalam lagu-lagunya.
Keseluruhan, album ini luar biasa. Wajib dikoleksi untuk para penggemar Dream Theater, pecinta musik beraliran metal, atau bahkan untuk band-band sebagai referensi bermusik. Meski musik mereka penuh balutan skill individual yang luar biasa, namun jangan harap album ini bakal meledak di seluruh dunia, karena konsep “systematic chaos” –nya yang kurang familiar di kuping umum.
Last, listening to their music will present you apparently a worthwhile (and educational) musical experience.


Gayuh Putranto
“Metropolis watches and thoughtfully smiles...”

SELAMAT DATANG DI ABAD CHINA

Tidak diragukan lagi, dalam beberapa masa ke depan dunia ini akan memasuki Abad China, dimana China akan tampil sebagai raksasa ekonomi dan secara otomatis akan menjadi adikuasa (entah tunggal atau jamak nantinya) menggantikan peranan AS sekarang ini. Pertumbuhan ekonomi China yang sangat luar biasa lah yang mengatrol China untuk memperoleh kedudukan itu. Kekuatan ekonomi itu pula yang menarik gerbong negara-negara lain nantinya dalam suatu pertumbuhan regional. Kekuatan ekonomi itu pula yang akan menyeret milyaran dollar modal, ribuan pemodal dan industriawan memasuki negeri Tirai Bambu. Secara umum, tidak ada hambatan fundamental bagi China untuk terus tumbuh dalam jangka pendek ini. Segala aral yang datangnya dari AS (yang paling iri terhadap China) hanya akan membukakan pintu keluar lainnya yang malah akan mengembangkan China dalam suatu status quo yang membebaskan China dari ketergantungan pada dunia yang mengalami kekacauan ini. Contoh kasus misalnya, ketika AS masih sibuk mengkritisi catatan-catatan kelam HAM di China dan melakukan embargo, China malah asyik bermesraan dengan negara-negara Eropa maju untuk bersama-sama memainkan kartu kerja sama ekonomi meliputi ekspor impor, pembangunan puluhan PLTN, pengembangan software bebas, hingga militer! Bukannya tidak sengaja, negara-negara Eropa Barat seperti Prancis, Inggris, dan Jerman, menilai China adalah mitra yang lebih berkomitmen terhadap stabilitas dunia daripada AS yang semakin sering melanggar norma-norma internasional dengan kekerasannya. Semuanya itu malah memuluskan jalan China menuju adikuasa kelak.
Saya cukupkan sampai sini pembahasan tentang apa dan mengapa Abad China (silakan baca China Inc.–nya Ted Fishman). Disini saya hanya akan memfokuskan pada “what do/should/can we do”. Kata “we” disini saya maksudkan untuk generasi muda yang kelak akan mengambil alih generasi sebelumnya untuk mengarungi kejamnya dunia dan yang seharusnya paling difokuskan pada abad mendatang di China. Perhatian mereka sekarang sekarang dialihkan secara cerdas oleh hiburan dan berita tentang pengadilan para selebriti dan kecanduan akan tayangan-tayangan reality show di tv.


Saatnya Belajar Bahasa China

Kenikmatan kue China tentu harus turut kita nikmati dan berperan di dalamnya, bukan sekedar melihat dari kejauhan. Untuk itu, modal dasarnya adalah penguasaan bahasa China.
Jika beberapa abad silam termasuk sekarang ini adalah abad Inggris (abad XVII s/d awal abad XX) dan Abad Amerika (medio abad XX s/d sekarang) dimana penggunaan bahasa Inggris adalah hal yang mutlak, maka dalam hitungan beberapa tahun mendatang, tentu bahasa China adalah sebuah keniscayaan bagi semua kalangan, terutama generasi muda sekarang yang kelak akan memegang peranan, baik itu sebagai (pinjam klasifikasi Kiyosaki) pengusaha (B), pegawai (E), pemilik modal (I), ataupun pekerja lepas (S).
Apalagi, dalam jangka panjang China akan menghadapi persoalan ketidakseimbangan demografi, yaitu banyak penduduk usia lanjut dan semakin sedikit usia produktif (Michael Witt, Kompas 20 Okt 2007). Ini terjadi karena pembatasan jumlah anak yang dilakukan Pemerintah China dalam rangka mengontrol populasinya. Di lain pihak, ribuan korporasi multinasional menuntut peningkatan nilai tambah dan kualifikasi dari sumber daya manusia terus menerus dan kuantitas kebutuhan itu terus melonjak seiring terus masuknya investasi asing ke dalam China. Sektor ekonomi China juga akan semakin haus akan masuknya modal-modal asing. Posisi kuat China (adikuasa) nantinya akan menjadikan kebergantungan negara-negara lain terhadapnya, seperti kebergantungan negara-negara dunia saat ini terhadap AS (termasuk Indonesia), baik secara ekonomi maupun politik.
Dalam sektor privat, seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa nantinya akan terjadi aliran modal industri masuk ke negeri China. Tidak kita sebagai pengusaha-pengusaha nantinya tidak tertarik untuk juga ikut mengalirkan modal ke negeri dengan biaya buruh yang sangat murah itu ditambah urusan birokrasi yang super lancar tanpa hambatan?
Atau yang tertarik di kuadran E, sangat tepat jika skill bahasa China mulai dibina dari sekarang, sebelum ribuan korporat nantinya ikut terseret magnet China dan memindahkan usahanya ke negeri China. Atau korporat anda ikut memainkan peranan dengan korporat-korporat China.
Pun di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Memang tahapan China sekarang adalah sebagai pembajak. Tapi ingat, Jepang dulunya berangkat sebagai bangsa pembajak (pasca PD I) sebelum sekarang menjadi bangsa paling maju di bidang teknologi di dunia dan ratusan hak paten di bidang teknologi diterbitkan setiap harinya. Sangat tidak mustahil, China pun melangkah melalui jejak yang sama dengan Jepang. Bahkan, data dari Organization for Economic Development and Trade telah mencatat bahwa sejak 2004 China adalah eksportir terbesar barang teknologi tinggi di dunia.
Kembali ke bahasa China, FYI, bahasa China sendiri memiliki tiga tingkatan, yaitu China klasik, China modern, dan China pers. Cina klasik merupakan tata bahasa baku yang biasa terdapat dalam buku, puisi, dan karya-karya sastra lainnya. Bahasa Cina klasik memiliki tingkatan lebih tinggi. Sementara, Cina Pers merupakan perpaduan antara tata bahasa yang digunakan dalam Cina Klasik, dan Cina Modern. Bahasa Cina Pers dapat ditemui dalam surat kabar, maupun majalah berbahasa Cina. Sedangkan Cina Modern merupakan bahasa percakapan sehari-hari yang terus mengalami perkembangan dari satu generasi ke generasi lainnya.
Meski manfaatnya sangat kaya, namun mempelajari bahasa China tidaklah mudah. Selain harus memahami susunan kata, intonasi, grammar, juga penulisan huruf-hurufnya yang “njelimet” itu.
So, have you been ready for learning Chinese?

Wednesday, February 14, 2007

My Book of The Month: China Inc.

Buku ini menarik perhatian saya, ketika pertama kali memasuki TB Gramedia di Mall Paris van Java, 31 Januari 2007 kemarin. Terletak di front row sebelah kiri, terlihat mencolok dengan cover putihnya dan terlihat sudah hampir sold out. Gambar di cover depan sungguh terasa ironi, sebuah emblem bendera kebangsaan AS yang dibungkus plastik kemasan dengan tulisan “made in China”. Di bawah tulisan judul terdapat tulisan “Bagaimana Kedigdayaan China Menantang Amerika dan Dunia”. Satu hal lagi yang menarik dari buku ini adalah, penulisnya adalah seorang Amerika. Jadi, sudut pandang buku ini adalah dari kompetitor subyek buku (AS terhadap China).

Mari dilihat lebih dalam.
Pertama, penulis mengajak menelusuri jantung bisnis China, yaitu Shanghai menggunakan perahu di sepanjang Sungai Huangpu untuk menyaksikan sebuah surga kapitalis di tengah benteng Negara Komunis. Ada fakta menarik. Ternyata untuk membangun kota ini menjadi surga kapitalis, dibutuhkan juga peran Yahudi (lagi-lagi!!). Diceritakan bahwa, Shanghai menjadi tempat pelarian 30.000 kaum Jewish ketika peristiwa pembunuhan besar-besaran oleh Hitler dan Nazinya (hal 3).

Meluncur ke bab dua.
Di sini adalah awal keajaiban China dimulai. Bagaimana suatu raksasa yang pernah terseok-seok oleh kemiskinan dan ideologi Komunis akhirnya menjadi pusat kapitalisme global yang sangat kuat? Apa maksudnya dengan China sekarang tumbuh tiga kali lebih cepat daripada Amerika Serikat? Bahwa China menggunakan 40 persen beton dan 25 persen baja dunia? Apa dampak global dari 300 juta penduduk China pedesaan yang meninggalkan tanah pertanian mereka dan pergi ke kota-kota sebagai migrasi terbesar dalam sejarah manusia? Mengapa hampir semua perusahaan terbesar didunia sekarang mempunyai usaha berskala besar di China? Apa artinya kepergian perusahaan ke China bagi karyawan-karyawan yang ditinggalkan di Amerika, Eropa, dan negara-negara lain didunia?Lalu, apa yang membuat perusahaan-perusahaan China yang sedang berkembang tersebut begitu bersaing dan bembahayakan? Apa yang mungkin terjadi apabila China mampu nantinya menghasilkan hampir segala sesuatu - komputer, mobil, jet berbadan besar, dan obat-obatan - yang dapat dihasilkan Amerika Serikat dan Eropa, barangkali dengan setengah biaya mereka?
Kesemuanya itu berawal dari cerita tentang delapan belas petani pedalaman yang memberontak dari sistem ‘pertanian kolektif’ khas komunis untuk menemukan sendiri jalan kekayaannya (hal 41). Dari sini, reformasi Maoisme berevolusi menjadi Kapitalisme yang dibidani oleh petani-petani komunis yang miskin tersebut. Sekularisme yang terkenal dengan ungkapan Deng Xiaoping “tak peduli apakah kucingnya hitam atau putih, asalkan ia menangkap tikus” (hal 67).

Demikian selanjutnya revolusi itu berjalan dengan cepatnya. Dari setting ribuan pabrik-pabrik berbiaya rendah dengan output yang sangat besar di tengah 1,3 milyar konsumen di China (bab 4) dan membanjiri dunia (Bab 6, 7). Dilanjut dengan aliran deras modal asing dan pengetahuan teknologi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah (bab 8). Berujung pada sebuah gambaran bahwa di masa depan terjadi urbanisasi produksi ke China dari segala penjuru dunia.
Pengakuan atas kebangkitan China tidak berarti sikap menyerah terhadap China. Namun, itu berarti mengakui kebenaran luar biasa yang sedang kita semua hadapi. Kita semua menyadari sepenuhnya tentang kebangkitan China. Bagaimana China dapat melakukan semua itu? Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya atau di belahan bumi manapun. Demikian, kita perlu mengetahui apa yang sedang terjadi dewasa ini di China –pekerja demi pekerja, pabrik demi pabrik—dan mengapa hal itu mempengaruhi setiap orang di muka bumi ini. Kita perlu mengetahui dan membiasakan itu semua sebelum bersama-sama menginjak ‘Abad China’ (Bab 11).
Overall, I’d say 9/10.*


Gayuh ND Putranto
15 Februari 2007



* I’d say 9/10 either for Dan Brown’s The Da Vinci Code.

Tuesday, December 19, 2006

Koalisi Islam dan China di Perang Peradaban, Bagaimanakah?

Prof. Samuel Huntington dalam bukunya yang menggemparkan dunia dan cukup kontroversial menurut beberapa kalangan, “The Clash of Civilization and The Remaking of The World Order” berhasil memprovokasi dunia dengan tesisnya bahwa pasca perang ideologi kapitalisme vs komunisme (Cold War) datanglah perang peradaban (Clash of Civilization) antara barat dan timur. Dalam hal ini, peradaban barat akan ditantang oleh peradaban China dengan latar belakang Konfusianisme dan peradaban Islam. Pasca perang dingin, AS sebagai pimpinan dari peradaban barat dengan aliansinya seperti Eropa dan Australia seakan tidak memiliki kompetitor di dunia, dan terus melebarkan pengaruhnya. Meski, Eropa dengan Uni Eropanya berupaya menyeimbanginya di bawah komando Jerman dan Prancis. Sebenarnya, ada satu hal yang menurut saya kurang diperhatikan oleh Huntington, yaitu masalah pengaruh gerakan Zionisme Israel. Meski bukan (baca: belum) menjadi sebuah peradaban, tidak bisa dipungkiri merupakan organisasi etnik dan religi Yahudi yang mempunyai kekuatan tersendiri di dunia. Gerakan yang didirikan oleh Nathan Bernbaum ini sekarang mempunyai kekuatan yang sangat signifikan di bidang finansial dan industri strategis di dunia. Dengan kekuatannya itu, Zionis dengan mudah bersinergi dengan negara-negara lain untuk kepentingannya. Misalnya, pada tahun 1927, 10 tahun pasca Perjanjian Balfour yang memberikan Palestina sebagai tanah air Yahudi, Inggris memberikan bantuan untuk pembangunan rumah dan gedung di tanah Palestina. Sampai dengan sekarang, mitra strategis gerakan ini adalah AS, selaku negara adikuasa zaman ini. Sinergi Zionis dan AS ini mempunyai kesamaan misi yaitu penguasaan kawasan Timur Tengah. Namun jelas, visinya berbeda. Jika AS bervisi tentang ‘National Energy Security’ melalui pengusaan ladang-ladang minyak dan mungkin visi tentang misionar (gospel), maka visi Zionis berlandaskan sebuah tujuan suci religi kembali ke tanah air milik nenek moyang mereka yaitu Palestina. Kekuatan Zionis dengan dukungan finansial yang luar biasa, serta dukungan lobi di belakang pemerintahan AS mampu bersinergi dengan AS untuk itu semua.Itu peradaban barat. Bagaimana dengan peradaban timur?Peradaban timur yang diwakili oleh China dan Islam sebenarnya memiliki misi yang sama yaitu mengalahkan hegemoni barat, meski visinya berbeda. China, raksasa yang baru bangun, bervisi tentang menjadi sebuah negara adikuasa, raksasa ekonomi (pemerintahan komunis, ekonomi kapitalis) global, dan penguasa dunia, seperti yang telah mereka perbuat pada zaman dulu. Dengan kekuatan sumber daya alam dan manusianya, mereka tidak bermimpi jauh untuk itu. Fakta sudah berbicara tentang itu. Di tengah resesi ekonomi global akibat resesi ekonomi AS sekarang ini, rapid growth China (dan India) mampu menyeimbangkan kondisi ekonomi global. Bagaimana dengan Islam?Visi peradaban Islam pastilah untuk menyebarkan ajaran suci ini ke berbagai pelosok bumi dan menghadirkan kembali imperium (khilafah) seperti pada abad pertengahan dengan berbagai nostalgia silam tentang kemenangan melawan peradaban Persia dan Romawi. Namun, jika AS mempunyai iptek dan kapitalisme dan Israel mempunyai dukungan finansial dan lobi global. Lalu China dengan kebangkitan ekonominya, maka apa yang ditawarkan peradaban Islam? Apakah cukup dengan dengan semangat jihad dan romantisme masa lalu?Bentangan negara-negara Islam dari Aljazair di barat hingga Indonesia di timur tampaknya hanya menjadi jajaran lidi yang tidak (semoga belum) terikat menjadi sebuah sapu lidi yang kokoh. Atau ribuan gerakan Islam yang heroik dimana-mana. Come on, guys!This is real real real world.Dalam perang peradaban, peradaban harus dilawan dengan peradaban. Peradaban lahir karena konsep (ideologi) dan strukturalisasi (yang ketiga sebenarnya ekspansi, namun untuk ini cukup sampai strukturalisasi). Konsep peradaban Islam seakan menghilang seiring dengan runtuhnya Khilafah Islam (1924). Belum ada contoh negara Islam ideal. Konsep Islam modern pun saat ini hanya sebatas tentang bank syariah dan asuransi syariah. Di sisi lain, struktur kapitalisme global sudah menghadirkan konsep fiskal, finansial, hukum, HAM, politik dan demokrasi, iptek, dll. Konsep Islam tentang itu semua masih belum ada.Kebangkitan Islam mungkin masih merupakan jalan yang panjang. Harus dimulai dari bawah, dari pembentukan manusia-manusianya (ideologi/aqidah) dimulai dari tingkat individu, keluarga, masyarakat, negeri, dan barulah khilafah Islamiyah. Jadi, mungkin untuk sementara ini, peradaban barat masih hanya berhadapan dengan peradaban China, belum peradaban Islam, karena peradaban Islam itu sendiri masih belum terstrukturisasi. Masih berupa puing-puing keruntuhannya atau sudah menjadi kerikil-kerikil fondasinya?

Gayuh Putranto
Bandung, 18 Desember 2006, 05.17 WIB

Tuesday, November 28, 2006

Menelusuri Jejak Gempa ke Semburan Lumpur

Dalam waktu enam bulan, muncul fenomena baru di bumi Indonesia. Semburan Lumpur namanya. Setelah kejadian menghebohkan di Sidoarjo, sekarang muncul hal yang kurang lebih serupa di Barito dan Bojonegoro. Satu lagi sebenarnya, yaitu fenomena gas panas di Majalengka.
Dengan mengesampingkan Barito, tiga titik (Sidoarjo, Bojonegoro, dan Majalengka) berada dalam satu garis lurus barat-timur. Dalam geologi, ketiganya terhubung di dalam modern back arc atau berada di belakang barisan busur vulkanik resen.
Penulis menduga, berbagai peristiwa itu bermuasal dari aktivitas tektonik yang tecermin dari rentetan gempa berskala kecil sampai besar yang dimulai dari gempa Aceh (Desember 2004) sampai gempa Yogya. Rentetan gempa yang mengakibatkan bergerak masuknya lempeng Hindia-Australia ke bawah lempeng Asia ini mengaktivasi aktivitas vulkanisme mulai dari Sumatera sampai dengan Jawa (untuk sementara ini) beberapa waktu lalu.
Rentetan gempa ini juga mereaktivasi rekahan-rekahan yang telah ada (frictional sliding). Berdasarkan Sibson, 1982, terbukti nyata bahwa migrasi fluida secara luas berasosiasi dengan region patahan aktif.
Atau dibalik.
Aktivitas vulkanisme ini memanaskan air-air bawah permukaan yang berada di dalam pori-pori tubuh batuan, sehingga menaikkan tekanan porinya. Akibatnya, kekuatan batuan berkurang dan pecah (terekahkan).
Kedua mekanisme ini, menjadi jalan bagi air (panas) itu keluar ke permukaan dengan tekanan tinggi dari dalam bumi.
Contoh yang menarik adalah gempa di California pada 1952 yaitu pergerakan sesar naik mengiri. Gempa tersebut diikuti oleh efusi 107 m3 air di sekitar jejak patahan lebih dari periode 2 bulan selama fasa aftershock (masa setelah tegasan), dimana sebagian besar pelepasan air tersebut juga mengeluarkan batuan batolit kristalin dari hanging wall sesar tersebut.

CMIIW

Gayuh N. Dwi Putranto
Selasa, 28 Nopember 2006, 21.49

Wednesday, August 23, 2006

Krisis Timur Tengah: Rusia Untung, RI Buntung

Memanasnya situasi politik di Middle East beberapa saat lalu, mendatangkan berkah untuk Rusia. Teorinya, setiap kenaikan tensi krisis di Middle East, harga minyak akan turut mengalami kenaikan. Rentetan krisis tersebut dimulai dari agresi pasukan AS plus ke Irak, krisis nuklir Iran, hingga agresi militer Israel ke Palestina dan Libanon.
Tak pelak, selama krisis itu harga minyak dunia kembali melonjak ke kisaran 60-70 dollar per barrel.
Rusia, sebagai salah satu penyuplai minyak terbesar di dunia memperoleh “rezeki nomplok” dari hal itu. Cadangan devisa Rusia melonjak menjadi 277 milyar dollar AS, ketiga terbesar di dunia. Lalu, pekan ini Rusia membayar semua utang pemerintah (mulai dari utang yang terjadi saat masih bernama Uni Sovyet hingga utang yang belum jatuh tempo) senilai 23,7 milyar dollar AS ke beberapa rekening debitor (Kompas 23 agustus 2006).
Itu nasib Rusia. Apa yang terjadi dengan negara ini?
Agaknya, kesalahan kebijakan di bidang migas telah menjadikan negara ini tidak berdaya dengan kekayaan alamnya sendiri. Boro-boro peningkatan devisa, pemerintah malah sempat menaikkan harga jual BBM domestik, yang mengakibatkan lonjakan inflasi yang masih terasa hingga sekarang. Santernya, kenaikan harga BBM domestik akan dikoreksi (baca: dinaikkan) pada triwulan pertama 2007.
Kesalahan dalam menentukan kebijakan di bidang migas ini meliputi perihal regulasi investasi yang investor friendly, sistem perkilangan domestik dan pengolahannya, kerentanan terhadap tekanan negara investor, kelemahan dalam pengawasan yang menyebabkan terjadinya pengapalan migas secara ilegal ke luar negeri, dan lain-lain.
Bagaimana dengan utang pemerintah yang senilai 1300 trilyun itu? Entahlah. Kapan-kapan saja membayarnya. Bangsa ini mungkin terbiasa hidup dengan tangan terikat di bawah tapak sepatu penjajah.


Gayuh ND Putranto, 23 Agustus 2006, 17.25 WIB
* tulisan ini dipicu oleh artikel “Rusia Bayar Semua Utang” di Kompas, 23 Agustus 2006

Lumpur Lapindo: Dari dan Kembali ke Selat Madura

Polemik tentang mau dikemanakan lumpur Lapindo di Porong akhirnya berujung pada direlokasinya lumpur ke Selat Madura melalui pipa sepanjang 16,05 km (Kompas 23 Agustus 2006).
Lumpur itu diyakini berasal dari Formasi Pucangan, berumur 1,7 ma (juta tahun lalu atau Pliosen Akhir), berupa sedimen laut. Laut ini identik dengan Selat Madura purba, karena Selat Madura pada 1,7 ma masih menjorok ke arah barat sampai dengan Kota Bojonegoro yg sekarang (lihat peta). Termasuk daerah Porong, yang termasuk di dalam Selat Madura ini. Lihat peta! Garis pantai saat itu adalah barat-timur yang membentang dari selatan Bojonegoro-Jombang sampai Perning, Mojokerto lalu ke selatan-tenggara menyusuri garis pantai yang sekarang (Pasuruan-Probolinggo-dst). Sedangkan Selat Madura purba membentang dari Kota Bojonegoro-Babat-Lamongan selatan-Gresik selatan dan Surabaya-Sidoarjo termasuk di dalamnya Porong. Selat Madura saat itu diapit dua tinggian, yaitu Perbukitan Rembang di utara dan Perbukitan Kendeng di selatan.
Peta Jawa Timur pada 1,7 ma (Zaim & Hofman, 2003)

Jadi, lumpur Lapindo merupakan endapan di Selat Madura dan sekarang dikembalikan lagi ke Selat Madura. Dan secara sejarah geologi, lumpur ini tidaklah berbahaya jika dibuang karena dengan lingkungan yang sama, Selat Madura dulunya tidak terkontaminasi limbah, beda dengan sekarang.

Monday, May 22, 2006

Nasionalisasi Mentalitas

Di tengah arus globalisasi dan kapitalisme, menyeruaklah semangat nasionalisasi. Globalisasi yang coba meniadakan batas-batas kenegaraan dan kapitalisme yang mencoba mengikis peranan pemerintah sebagai penguasa tunggal tanah, air, dan udara. Nyatanya, semangat nasionalisasi masih menggelora jauh di dalam lubuk hati sebagian negarawan.
Bolivia, sebuah negara di Amerika Selatan, berani menasionalisasi sumber daya migasnya dari cengkeraman raksasa-raksasa kapitalis macam Repsol, Petrobras, dll. Korporat-korporat tersebut diberi waktu 180 hari untuk mereevaluasi kontrak mereka dengan jaminan keamanan aset-aset mereka di negara itu. Amerika, sebagai gurita kapitalisme, hanya menunggu dan belum berani berkoar seperti biasanya.
Dalam kasus Unocal beberapa bulan lalu, Amerika malah berperan sebagai ‘nasionalisator’ korporat di bidang migas ini dari sergapan CNOOC, pertaminanya China. Senat AS tidak menyetujui penjualan mayoritas saham Unocal ke CNOOC meski dengan nilai yang aduhai dibanding dengan nilai uang yang ditawarkan oleh Chevron saat itu.
Ada lagi kasus perlindungan yang diberikan oleh pemerintah Perancis terhadap perusahaan energinya dari caplokan pengusaha Italia.
Pada intinya, pemerintah hendak melindungi aset bangsanya dari tangan swasta (baca: kapitalis) untuk jaminan keamanan nasional dan keberadaan aset nasionalnya.
Bagaimana dengan negeri ini?
Apakah virus nasionalisasi sampai ke negara ini secepat masuknya virus aviant influenza? Sepertinya tidak (baca: belum).
Beberapa tahun lalu, pemerintah gemar melakukan privatisasi (antonim nasionalisasi) aset-asetnya. Tak kurang dari Bank Central Asia dan Indosat. Lebih menyedihkan ialah keputusan pemerintah memperpanjang kerja sama dengan Exxon Mobil (Exxon) untuk blok Cepu selama 20 tahun sampai 2030.
Sebenarnya tidak ada alasan pemerintah harus membagi lapangan migas raksasa tersebut dengan kapitalis. Formulasinya sederhana, yaitu bangsa yang 60 tahun merdeka ini selayaknya, semestinya, dan seyogianya mengerjakan sendiri eksplorasi dan eksploitasi minyaknya. Bahkan, harus melakukannya di mana saja di dunia yang dianggap mempunyai kemungkinan berhasil.
Dus, apa boleh buat? Kontrak sudah ditandatangani di sana sini. Menangislah (sekali lagi) para nasionalis, bergembiralah bagi yang ‘berhak’.
Apa yang salah dengan itu semua?
Agaknya kita tidak perlu untuk bicara jauh-jauh tentang nasionalisasi energi dan aset-aset negara, kita hanya perlu bicara tentang nasionalisasi mentalitas. Mentalitas ambtenaar atau mentalitas cecunguk (istilah Prof. Sampurno) yang suka menghamba pada orang lain. Mentalitas untuk gembira pada carrot yang diberikan dan tunduk pada stick orang lain.
Konflik yang mencuat dari bumi Papua baru-baru ini tentang keberadaan PT. Freeport, konflik pencemaran lingkungan di Buyat, konflik horizontal di Batu Hijau, Nusa Tenggara, dan lain-lain rupanya belum mengusik hati kita dan para penguasa.
Jadi, memang semua kembali pada mentalitas. Mentalitas untuk mandiri, berdikari, dan sense of nation. Sepertinya bangsa ini rindu hadirnya figur negarawan seperti Bung Karno yang dengan tegarnya berani mengatakan ‘men does not live by bread alone’ di depan hidung para kapitalis. Setelah mempunyai negarawan seperti itu, barulah membicarakan nasionalisasi aset-aset, dll.
“Kita memang lebih bodoh dari generasi Sukarno-Hatta”



Gayuh ND Putranto
‘karena bangsa ini belum menyerah’