Geolife...!

Gayuh is Geopreneur

Monday, May 22, 2006

Nasionalisasi Mentalitas

Di tengah arus globalisasi dan kapitalisme, menyeruaklah semangat nasionalisasi. Globalisasi yang coba meniadakan batas-batas kenegaraan dan kapitalisme yang mencoba mengikis peranan pemerintah sebagai penguasa tunggal tanah, air, dan udara. Nyatanya, semangat nasionalisasi masih menggelora jauh di dalam lubuk hati sebagian negarawan.
Bolivia, sebuah negara di Amerika Selatan, berani menasionalisasi sumber daya migasnya dari cengkeraman raksasa-raksasa kapitalis macam Repsol, Petrobras, dll. Korporat-korporat tersebut diberi waktu 180 hari untuk mereevaluasi kontrak mereka dengan jaminan keamanan aset-aset mereka di negara itu. Amerika, sebagai gurita kapitalisme, hanya menunggu dan belum berani berkoar seperti biasanya.
Dalam kasus Unocal beberapa bulan lalu, Amerika malah berperan sebagai ‘nasionalisator’ korporat di bidang migas ini dari sergapan CNOOC, pertaminanya China. Senat AS tidak menyetujui penjualan mayoritas saham Unocal ke CNOOC meski dengan nilai yang aduhai dibanding dengan nilai uang yang ditawarkan oleh Chevron saat itu.
Ada lagi kasus perlindungan yang diberikan oleh pemerintah Perancis terhadap perusahaan energinya dari caplokan pengusaha Italia.
Pada intinya, pemerintah hendak melindungi aset bangsanya dari tangan swasta (baca: kapitalis) untuk jaminan keamanan nasional dan keberadaan aset nasionalnya.
Bagaimana dengan negeri ini?
Apakah virus nasionalisasi sampai ke negara ini secepat masuknya virus aviant influenza? Sepertinya tidak (baca: belum).
Beberapa tahun lalu, pemerintah gemar melakukan privatisasi (antonim nasionalisasi) aset-asetnya. Tak kurang dari Bank Central Asia dan Indosat. Lebih menyedihkan ialah keputusan pemerintah memperpanjang kerja sama dengan Exxon Mobil (Exxon) untuk blok Cepu selama 20 tahun sampai 2030.
Sebenarnya tidak ada alasan pemerintah harus membagi lapangan migas raksasa tersebut dengan kapitalis. Formulasinya sederhana, yaitu bangsa yang 60 tahun merdeka ini selayaknya, semestinya, dan seyogianya mengerjakan sendiri eksplorasi dan eksploitasi minyaknya. Bahkan, harus melakukannya di mana saja di dunia yang dianggap mempunyai kemungkinan berhasil.
Dus, apa boleh buat? Kontrak sudah ditandatangani di sana sini. Menangislah (sekali lagi) para nasionalis, bergembiralah bagi yang ‘berhak’.
Apa yang salah dengan itu semua?
Agaknya kita tidak perlu untuk bicara jauh-jauh tentang nasionalisasi energi dan aset-aset negara, kita hanya perlu bicara tentang nasionalisasi mentalitas. Mentalitas ambtenaar atau mentalitas cecunguk (istilah Prof. Sampurno) yang suka menghamba pada orang lain. Mentalitas untuk gembira pada carrot yang diberikan dan tunduk pada stick orang lain.
Konflik yang mencuat dari bumi Papua baru-baru ini tentang keberadaan PT. Freeport, konflik pencemaran lingkungan di Buyat, konflik horizontal di Batu Hijau, Nusa Tenggara, dan lain-lain rupanya belum mengusik hati kita dan para penguasa.
Jadi, memang semua kembali pada mentalitas. Mentalitas untuk mandiri, berdikari, dan sense of nation. Sepertinya bangsa ini rindu hadirnya figur negarawan seperti Bung Karno yang dengan tegarnya berani mengatakan ‘men does not live by bread alone’ di depan hidung para kapitalis. Setelah mempunyai negarawan seperti itu, barulah membicarakan nasionalisasi aset-aset, dll.
“Kita memang lebih bodoh dari generasi Sukarno-Hatta”



Gayuh ND Putranto
‘karena bangsa ini belum menyerah’